,
Yogyakarta
– Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (
SBY
) mengkritik konflik yang baru-baru ini terjadi di berbagai bagian dunia. Menurut SBY, sementara beberapa negara tersebut terjerumus ke dalam perang, masalah-masalah penting lainnya menjadi tidak tersentuh, yaitu
krisis iklim
dan lingkungan.
Crisis iklim dan crisis lingkungan memang nyata, tidak bisa diabaikan.
hoax
“, dan konflik-konflik tersebut terus memperparah situasi planet ini beserta hidupnya masyarakat global,” ungkap SBY ketika hadir dalam kuliah umum dengan tema Hijau Bertumbuh yang diselenggarakan oleh The Yudhoyono Institute (TYI).
Stanford University
di Yogyakarta, Senin 12 Mei 2025.
SBY mengatakan bahwa minimal terdapat tiga kondisi saat ini yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat global. Di luar konflik militer dengan penggunaan perlengkapan canggih, terdapat pula dinamika geopolitik semakin memanas serta persaingan perdagangan antarnegara.
Presiden keenam Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa diperlukan adanya langkah dari pemuka-pemuka negara untuk melepaskan egonya. Ia percaya bahwa pemimpin di seluruh dunia sekarang harus bergabung dan berkonsentrasi pada penanganan krisis iklim serta masalah-masalah lingkungan lainnya termasuk dampak-dampak yang ditimbulkan.
Bila para pemimpin global tidak mampu bersama-sama merespons masalah perubahan iklim akibat konflik yang tak henti-hentinya, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk melindungi planet ini bagi generasi mendatang,” ujarnya dengan menekankan bahwa apabila ancaman perubahan iklim diabaikan, negara-negara khawatir bakal telat dalam upaya memerangi efek negatifnya.
Isu tentang iklim dan lingkungan, menurut SBY, memang bukan isu yang populer seperti perang, geopolitik, dan perang ekonomi. Sehingga, SBY menyatakan, ancaman krisis iklim dan lingkungan ini perlu diserukan bersama-sama agar menjadi perhatian utama bangsa-bangsa. Tak terkecuali Indonesia.
“Selayaknya kita mengingatkan pemimpin-pemimpin global agar tidak lagi tenggelam dalam perselisihan dan perang tanpa manfaat yang nyata,” katanya.
Pemerintah yang Merusak Lingkungan, Pemerintah yang Bisa Perbaiki
Pada sesi kuliah umum tersebut, Arun Majumdar, seorang peneliti yang menjabat sebagai Dekan di Stanford Doerr School of Sustainability dengan fokus pada riset dan inovasi berkelanjutan, menyatakan bahwa perubahan iklim telah menjadi kenyatan masa kini. Dia menjelaskan, “Meskipun kondisi perubahan iklim saat ini belum sepenuhnya merugikan, penting bagi kita untuk mempersiapkan diri atas potensi dampak negatif di kemudian hari.” Arun mencetuskan pandangan ini dalam acara tersebut.
Menurut Arum, para ahli dan peneliti di seluruh dunia sekarang harus berkolaborasi dalam proyek-proyek fokus untuk mengatasi perubahan iklim sehingga efek negatifnya dapat dikurangi.
Pembicara lain, David Cohen—a seorang professor di bidang hukum dan hak asasi manusia dari Stanford University—menyatakan bahwa salah satu faktor utama percepatan perubahan iklim dan kondisi lingkungan disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang selalu memaksakan dirinya dalam nama kesinambungan ekonomi. Menurut Cohen, aturan-aturan ini merusak alam tersebut diterapkan secara bertahap mulai dari skala nasional turun sampai pada tingkat masyarakat lokal.
“Sering kali, beberapa orang berfokus pada keberlanjutan masyarakat dan lingkungan, namun pertanyaannya adalah mengapa izin (untuk eksploitasi) dapat diberikan? Apakah ini terjadi di area seperti cagar laut yang dilindungi, hutan, atau tempat lain?” ungkap Cohen.
Cohen menambahkan bahwa strategi untuk memelihara alam perlu diawali dari tingkat kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan, sehingga dapat mensetting aturan agar pertumbuhan ekonomi dan kesinambungan tidak merugikan lingkungan.